Hadis: Zakat Harta Karun (Rikaz) dan Barang Tambang (Madan) (Bag. 2)
Teks hadis
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah, dari Malik, dari Rabi’ah bin Abu Rabi’ah bin Abu Abdurrahman, dari lebih dari satu orang bahwa,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقْطَعَ بِلَالَ بْنَ الْحَارِثِ الْمُزَنِيَّ مَعَادِنَ الْقَبَلِيَّةِ، وَهِيَ مِنْ نَاحِيَةِ الْفُرْعِ» ، فَتِلْكَ الْمَعَادِنُ لَا يُؤْخَذُ مِنْهَا إِلَّا الزَّكَاةُ إِلَى الْيَوْمِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengalokasikan untuk Bilal bin Al-Harits Al-Muzani barang-barang tambang Qabiliyyah. Barang tambang tersebut berasal dari daerah Fur’. Barang tambang tersebut tidak diambil darinya, kecuali zakat hingga hari ini.” (HR. Abu Dawud no. 3061)
Hadis ini adalah hadis yang dha’if. Perkataan perawi, “dari lebih daru satu orang”, bisa jadi orang itu adalah sahabat Nabi atau bukan sahabat Nabi. Dalam riwayat Al-Baghawi disebutkan, “Dari lebih dari satu orang ulama mereka … “ [1] Sehingga, hal ini jelas menunjukkan bahwa mereka itu bukan sahabat Nabi, sehingga sanadnya terputus. Hadis ini juga memiliki sanad yang maushul (tersambung), sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abdil Barr dan Al-Baihaqi, akan tetapi statusnya dhaif jiddan (sangat lemah).
Kandungan hadis
Pertama, definisi barang tambang
Dalam hadis di atas, (معادن) adalah bentuk jamak dari (معدن). Secara bahasa berarti tempat di mana permata keluar dari dalam bumi.
Menurut istilah ulama fikih, ma’dan adalah semua yang keluar dari dalam bumi, yang diciptakan Allah, bukan karena selainnya (misalnya, bukan karena sengaja ditimbun manusia), dan barang tersebut adalah barang yang bernilai. Ini adalah definisi menurut ulama Hanabilah [2].
Definisi menurut ulama Hanabilah ini adalah definisi yang bagus, karena bisa membedakan antara rikaz dan ma’dan. Harta rikaz itu ada unsur campur tangan manusia, misalnya memang sengaja dipendam oleh manusia zaman dulu. Adapun ma’dan adalah barang yang Allah Ta’ala ciptakan di dalam bumi dan tidak ada campur tangan manusia di dalamnya. Pembedaan seperti ini adalah definisi jumhur ulama. Adapun menurut ulama Hanafiyah dan yang sependapat dengannya, ma’dan itu sama saja dengan rikaz, sehingga kadar zakatnya pun sama, yaitu sama-sama seperlima (20%).
Ma’dan bisa jadi berupa zat padat yang bisa meleleh dan bisa dibentuk (dicetak) dengan api, seperti emas, perak, besi, timah, dan tembaga. Bisa juga berupa zat padat yang tidak bisa meleleh, seperti batu permata. Dan bisa juga berupa zat cair atau sejenis itu, seperti minyak dan gas [3].
Kedua, ketentuan zakat barang tambang
Hadis ini digunakan sebagai dalil bagi ulama yang mengatakan wajibnya zakat untuk barang tambang. Derajat hadis ini lemah, sebagaimana penjelasan sebelumnya. Akan tetapi, kewajiban zakat barang tambang ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ الأَرْضِ
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (QS. Al-Baqarah: 267)
Ketika menjelaskan ayat ini, Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Yaitu, tumbuh-tumbuhan, barang tambang, dan rikaz.” [4]
Selain itu, An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah menukil adanya ijmak tentang wajibnya zakat pada barang tambang. [5]
Oleh karena itu, terdapat kewajiban zakat untuk semua jenis barang tambang, yaitu semua yang ditambang dari dalam bumi dan memiliki nilai, berdasarkan cakupan makna umum dari ayat tersebut. Karena hal itu sejalan dengan hukum-hukum syariat yang cocok (sesuai) dengan setiap zaman dan tempat. Pada zaman ini, terdapat berbagai jenis barang tambang yang dihasilkan dalam jumlah besar karena kemajuan teknologi saat ini, yang bisa jadi tidak dikenal di masa lampau. Lebih-lebih barang tambang yang digunakan untuk sumber energi, seperti minyak dan gas. Ini adalah mazhab Imam Ahmad, sebagaimana yang telah berlalu definisi terkait barang tambang menurut beliau.
Adapun menurut Imam Malik, Asy-Syafi’i, dan ulama Zahiriyah, barang tambang yang wajib dizakati hanya emas dan perak. Adapun barang tambang selain emas dan perak, maka tidak wajib dizakati [6]. Sedangkan menurut Abu Hanifah, barang tambang yang wajib dizakati adalah barang tambang yang bisa meleleh (mencair) atau bisa dicetak dengan api, seperti emas, perak, besi, dan timah. Adapun barang tambang cair (seperti minyak bumi) dan barang tambang padat yang tidak bisa meleleh/mencair dengan api (seperti batu permata), maka tidak ada kewajiban zakatnya.
Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat Imam Ahmad rahimahullah, bahwa barang tambang yang wajib dizakati adalah semua jenis barang tambang. Pendapat ini dikuatkan oleh makna bahasa. Demikian pula, lebih sesuai dengan logika yang sahih. Karena tidak ada perbedaan antara barang tambang yang bisa meleleh atau tidak. Karena semuanya merupakan barang yang memiliki nilai. Seandainya para ulama terdahulu rahimahumullah masih hidup dan melihat kemajuan dunia pertambangan modern, sehingga mereka bisa melihat besarnya nilai barang tambang saat ini, tentulah mereka akan memiliki penilaian dan pendapat yang berbeda dengan ijtihad mereka sebelumnya.
Pendapat yang lebih kuat menyatakan bahwa kewajiban zakat barang tambang itu berlaku ketika telah mencapai nishab emas atau perak. Tidak dipersyaratkan bahwa nishab tersebut diperoleh dari sekali aktivitas menambang. Akan tetapi, nishab tersebut diperoleh dari beberapa kali aktivitas penambangan yang kemudian dikumpulkan jadi satu. Hal ini karena pada umumnya, barang tambang memang diperoleh dari cara seperti itu, yaitu dikumpulkan sedikit demi sedikit dari beberapa kali menambang. Akan tetapi, jika barang tambang tersebut berbeda jenis (misalnya, besi dan emas), tidak perlu digabungkan supaya mencapai nishab, tapi tetap dihitung sendiri-sendiri (terpisah).
Adapun kadar zakatnya adalah sebesar 2,5%, di-qiyas-kan dengan zakat emas dan perak. Hal ini karena untuk mendapatkan barang tambang itu membutuhkan biaya dan tenaga, sehingga kadar zakatnya tidak sebesar harta rikaz (20%). Besaran zakat tersebut langsung dibayarkan (dikeluarkan) ketika telah mencapai nishab, tidak ada ketentuan haul.
Demikianlah pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat untuk kaum muslimin [7]. Wallahu Ta’ala a’lam.
Kembali ke bagian 1: Zakat Harta Karun (Rikaz) dan Barang Tambang (Ma’dan) (Bag. 1)
***
@Rumah Kasongan, 25 Jumadilawal 1445/ 9 Desember 2023
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.or.id
Catatan kaki:
[1] Syarhus Sunnah, 6: 60.
[2] Al-Mughni, 4: 238.
[3] Lihat Bada’i Ash-Shanai’, 2: 67.
[4] Tafsir Al-Qurthubi, 3: 321.
[5] Al-Majmu’, 6: 73.
[6] Al-Muntaqa, 2: 103; Al-Majmu’, 6: 77; dan Al-Muhalla, 6: 108.
[7] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 453-456) dan Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram (3: 369-370).
Artikel asli: https://muslim.or.id/90349-zakat-harta-karun-rikaz-dan-barang-tambang-madan-bag-2.html